Tuesday, May 27, 2014

Kesenian di Kota Bitung



Kota Bitung adalah salah satu  kota  di provinsi Sulawesi  Utara dengan luas wilayah daratan 304 km2. Sebagian besar wilayah daratan merupakan daerah berombak, berbukit dan gunung. Secara Geografis Kota Bitung terletak pada posisi diantara 1o23'23" - 1o35'39" LU dan 125o1'43" - 125o18'13" BT. Kota ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan laut yang mendorong percepatan pembangunan.
Sebagian besar penduduk Kota Bitung berasal dari suku Minahasasuku Sangihe. Terdapat juga komunitas etnis Tionghoa  yang besar di Bitung. Para pendatang yang berasal dari suku Jawa  dan suku Gorontalo, Suku Minangkabau , Suku Aceh  juga banyak ditemui di Bitung, dimana sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang. Bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat Kota Bitung adalah bahasa Manado sebagai bahasa ibu dari sebagian besar penduduk Kota Bitung. Bahasa Sangihe juga sering digunakan oleh penduduk Sangihe Talaud yang ada di kota Bitung.


Selain dalam bidang budaya, kesenian yang berkembang di kota Bitung juga dipengaruhi oleh etnis dan budaya yang ada. Seperti yang kita ketahui, bahwa kesenian merupakan bagian dari kebudayaan. Maka dari itu, keduanya saling berhubungan.
Namun, selain dipengaruhi oleh budaya dan etnis yang ada, lingkungan hidup dan tata letak kota juga memberikan pengaruh pada kesenian daerah Bitung. Walaupun belum semua warga kota Bitung mengenal kesenian yang baru tersebut,dan minimnya sosialisasi serta tanggapan masyarakat akan kesenian daerah yang ada ini, tetapi tetap saja kesenian itu sudah ada dan harus dikembangkan dan dilestarikan. Inilah yang menjadi kondisi seni dan budaya kota Bitung sekarang ini.

Kesenian yang Ada di Kota Bitung
Karya seni ada 3, meliputi:
-   Visual Art: seni yang dapat dinikmati melalui indera penglihatan. Misalnya seni rupa.
-   Audio Art: seni yang dapat dinikmati melalui indera pendengaran. Misalnya seni suara (seni musik)
-   Audio Visual Art: seni yang dapat dinikmati melalui indera penglihatan dan indera pendengaran. Misalnya, seni drama dan seni tari.
Berdasarkan pengertian kesenian dan juga karya seni yang ada, maka melalui survey yang sudah kami lakukan, dibawah ini ada beberapa kesenian yang ada dan masih sangat kuat keberadaannya dikalangan masyarakat kota Bitung.

1. Upacara Adat Tulude
Upacara adat ''Tulude'' merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara propinsi Sulawesi Utara. Telah berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud sehingga tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh generasi manapun. Mengingat bahwa ada cukup besar warga atau etnis Sangihe Talaud yang tinggal dikota Bitung, maka upacara adat inipun dilaksanakan dan sudah menjadi budaya bagi masyarakat kota Bitung.
Tulude pada hakekatnya adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkat-berkat-Nya kepada umat manusia selama setahun yang lalu. Kata TULUDE berasal dari kata "suhude" yang secara harafiah berarti tolak, atau mendorong, hingga secara luas dapat diartikan bahwa orang sangihe menolak untuk terus bergantung pada hal - hal di tahun yang lampau dan siap menyongsong kehidupan yang baru di tahun yang baru. Selain itu juga upacara ini merupakan permohonan kepada  Tuhan untuk menolak segala bencana, agar semuanya itu dapat dihindarkan.
Pada masa awal beberapa abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur pada setiap tanggal 31 Desember, di mana tanggal ini merupakan penghujung dari tahun yang akan berakhir, sehingga sangat pas untuk melaksanakan upacara Tulude. Ketika agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan muatan-muatan penginjilan dan tradisi kekafiran secara perlahan mulai terkikis. Bahkan, hari pelaksanaannya yang biasanya pada tanggal 31 Desember, oleh kesepakatan adat, dialihkan ke tanggal 31 Januari tahun berikutnya. Hal ini dilakukan, karena tanggal 31 Desember merupakan saat yang paling sibuk bagi umat Kristen di Sangihe dan Talaud. Sebab, seminggu sebelumnya telah disibukkan dengan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru. Akibat kepadatan dan keseibukan acara ibadah ini dan untuk menjaga kekhusukan ibadah gerejawi tidak terganggu dengan upacara adat Tulude, maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya menjadi tanggal 31 Januari. Bahkan pada tahun 1995, oleh DPRD dan pemerintah kabupaten kepulauan Sangihe-Talaud, tanggal 31 Januari telah ditetapkan dengan Perda sebagai hari jadi Sangihe Talaud dengan inti acara upacara Tulude. Begitulah tuturan narasumber, Yekonia Nanangkong S.Pd yang merupakan salah satu orang yang bisa memotong kue tamo  yang adalah kue khusus pada Upacara Adat Tulude. Beliau menjelaskan dengan cermat dan teliti setiap hal penting mengenai upacara adat ini kepada kami.

Bila dilihat, Tulude memang lebih cenderung ke kebudayaan. Tapi dalam tata cara pelaksaannya, Tulude memuat unsur-unsur seni. Misalnya ada salah satu acara mengenai pagelaran seni di upacara Tulude, dimana pada bagian tersebut akan dipertontonkan tarian-tarian daerah khususnya daerah Nusa Utara. Seperti, tarian gunde, salo, masamper, pertunjukan musik bambu dan lain-lain. Hal inilah yang membuat kami ingin mengkaji tentang upacara adat Tulude karena di upacara adat inilah, kita bisa menyaksikan pertunjukan seni (tari-tarian) khas Nusa Utara.

2.  Masamper
Masih dari narasumber yang sama, Bpk. Nanangkong memberikan informasi tentang salah satu kesenian khas Nusa Utara yaitu Masamper yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat kota Bitung dan menjadi kesenian di kota ini. Masamper diambil dari bahasa Portugis yaitu zyangfeer yang berarti kelompok penyanyi.
Kelompok penyanyi ini terbentuk sejalan dengan kegiatan penyebaran injil oleh agama Khatolik di Sangihe-Talaud.  Setelah munculnya kebiasaan, kelompok penyanyi ini juga dilakukan dalam ibadah-ibadah Protestan dan oleh orang Belanda kelompok penyanyi ini disebut zangvere(e) Ninging atau zang (de) verzameling dengan tujuan melatih dan mengajar jemaat memuji Allah Sang Pencipta. Kegiatan berzangvere berjalan dengan baik sehingga kebiasaan menyanyi ini menjadi bagian penting dalam setiap ibadah. Kata masamper tercipta berawal dari sulitnya jemaat mengucapkan kata zyangfere sehingga terucap samfer/sampri. Kata ini kemudian berkembang menjadi masamper yang berarti menyanyi bersama-sama syair lagu-lagu yang diciptakan oleh masyarakat Sangihe-Talaud banyak berorientasi pada budaya bahari, hal ini karena penduduk Sangihe-Talaud terpisah-pisah oleh kepulauan. Kata-kata dalam lagu-lagu Masamper diantaranya pato (perahu), laut, ombak, selat, burung camar dan lain-lain sebagai simbol bahwa orang Sangihe Talaud adalah orang kepulauan, menetap di tepipantai karena itu akrab dengan laut. Hal ini membuktikan bahwa budaya bahari bukan saja hidup dan mengental dalam masyarakat tetapi telah menjadi pandangan hidup masyarakat.


Seiring waktu telah terjadi perkembangan dalam pada penyajian variasi serta lagu-lagu yang dinyanyikan dan kostum yang digunakan. Masamper dilaksanakan dalam berbagai even seperti, upacara adat, kedukaan, perkawinan atau acara-acara lainnya. Lagu-lagu yang dinyanyikan lirik dan syairnya disesuaikan dengan suasana acaranya.

Dalam pertunjukan masamper yang ditonjolkan bukan hanya lagu-lagu yang dinyanyikan tetapi juga keserasian gerak disertai ekspresi atau penjiwaan terhadap pesan dalam lagu yang dibawakan. Biasanya para peserta masamper adalah orang-oarang yang menguasai lagu-lagu, vokal yang prima atau bersuara merdu dengan variasi suasa alto, sapran, mesosopran dll. Selain itu keserasian gerak, kekompokan, vokal, dinamika lagu-lagu sehingga pertunjukkan masamper yang dibawakan dalam bentuk nyanyian dan gerak menarik perhatian.
Masamper memiliki fungsi menyampaikan nilai religius, nilai saling mengasihi dan saling menghormati, menanamkan rasa cinta tanah air, menamamkan rasa kejujuran, disiplin, mempererat rasa persatuan dan kesatuan serta menanamkan rasa cinta lingkungan. Sebagai suatu seni pertunjukan yang dinamis dan diwarnakan suasana kegembiraan, maka seni pertunjukkan msamper banyak diminati oleh masyarakat, bukan saja masyarakat Sangihe Talaud tetapi juga oleh masyarakat lainnya di Nusantara salah satunya dikota kami, kota Bitung.


3.  Tari Tangkap Cakalang
Tari Tangkap Cakalang atau dengan bahasa Indonesia adalah tari menangkap ikan cakalang/tuna/ tongkol, adalah Tarian Kreasi Baru yang di ciptakan oleh Bpk. Alan Ruknis pada tahun 2006. Tarian ini menceritakan tentang bagaimana kehidupan seorang/ sekelompok nelayan mencari ikan di laut, dan juga menceritakan kehidupan di bawah laut khususnya kehidupan ikan cakalang. Bagaimana mereka hidup, bermain di laut dan lain-lain.  Tarian ini diciptakan karena terinspirasi oleh lokasi kota Bitung yang mana, Bitung merupakan kota Pelabuhan dan terletak dipesisir pantai. Sehingga sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan. Hal inilah yang mendorong pencetus tari Tangkap Cakalang ini. Begitulah paparan dari Rizal Aneta (19 tahun) yang merupakan salah satu penari dalam tarian tangkap cakalang ini.
Tarian ini pertama kali ditampilkan secara umum dan mendapat 
sorotan besar  pada event internasional  Sail Bunaken di tahun 2009. Namun sebelumnya,  di tahun 2007 pada perlombaan yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, tarian ini sudah diikutsertakan. Utusan dari kota Bitung mendapat juara pertama atas tari cakalang yang merupakan tarian kreasi baru ini. Dan selanjutnya, tarian ini pun mulai dipentaskan di event-event dan perlombaan-perlombaan lainnya.
Penari terdiri oleh putra dan putri dari kota Bitung secara berpasangan. Jumlah maksimal penari mencapai 5 pasang putra-putri, dan jumlah minimalnya hanya 2 pasang putra-putri.  Putra berperan sebagai Nelayan dan putri sebagai  Ikan Cakalang. Tarian ini terdiri dari 3 babak, yaitu:

1. Nelayan sendiri
Di bagian ini, si nelayan memperlihatkan keperkasaannya dalam hal menangkap ikan.

2. Sekelompok ikan menari
Disini, ikan-ikan yang diperankan oleh putri mempertunjukan keindahan mereka saat bermain didalam air.

     3. Pertarungan Nelayan dan Para Ikan
Pada bagian ini, para nelayan yang diperankan oleh putra akan bertarung untuk menangkap ikan-ikan yang diperankan oleh para putri kota Bitung. Pada akhirnya, ikan-ikan yang ada akan berhasil ditangkap oleh para nelayan dan inilah yang menjadi bagian akhir dari tarian ini.


Tarian ini  memiliki durasi sekitar 5 – 7 menit. Kostum yang digunakan bagi putra dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Tetapi, belum ada kostum yang paten untuk putra. Sedangkan untuk putri, kostum mereka dibuat menyerupai ikan. Kostum yang ada biasanya dipinjam didinas pariwisata karena masih minimnya kostum dari tarian ini.

Selain itu, alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari tangkap cakalang ini adalah tamborin dan suling.  Untuk pemain tamborin yang ada dikota Bitung masih bisa bertambah karena mudah untuk diajarkan. Tetapi, bagi pemain suling, hanya ada satu orang, yaitu Bpk. Yosep Untu. Beliau adalah salah satu tokoh yang sangat mengenal kesenian baik yang ada dikota Bitung, maupun di Minahasa. Hanya beliau saja yang bisa memainkan alat musik tersebut, karena tingkat kesulitannya cukup tinggi dan sulit untuk diajarkan.

Tarian ini merupakan tari kreasi baru dan belum lama dibuat, sehingga masyarakat masih belum terlalu mengenal tarian ini. Bahkan hanya beberapa orang saja yang bisa memainkan tarian ini dengan benar. Selain itu, pelatihnya pun masih sangat sedikit dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jelas Rizal. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang tarian daerah dan kurangnya kepedulian serta antusiasme warga masyarakat kota Bitung terhadap kesenian ini.


4.  Tari Kopra

Masih dari Rizal Aneta, kami memperoleh informasi tentang 
tarian ini. Tari Kopra juga merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh Bpk. Alan Ruknis. Tarian ini menjelaskan tentang petani yang sedang membuat kopra. Mengingat Sulawesi Utara adalah daerah Nyiur Melambai yang banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa, maka tidak heran jika banyak produksi kopra yang terdapat didaerah Sulawesi Utara, khususnya kota Bitung. Hal inilah yang menjadi acuan terciptanya tarian ini. Tarian ini hanya dimainkan oleh putri saja, dan biasanya semakin banyak penari maka tariannya akan terlihat lebih baik. Namun, batas maksimal penari tidak diketahui dengan jelas oleh narasumber karena dia bukanlah salah satu penari tarian ini. Properti yang digunakan dalam tarian ini adalah “Tolu” yang adalah topi yang berbentuk gunung yang biasanya dipakai oleh petani maupun nelayan yang terbuat dari anyaman bambu. Alat musik pengiringnya sama seperti alat musik yang mengiringi tarian tangkap cakalang yaitu tamborin dan suling. Tetapi intrumen yang digunakan adalah instrument lagu daerah salah satunya adalah lagu sayang-sayang sipatokaan. Berhubung narasumber bukanlah penari dari tarian ini, maka informasi yang kami dapat tidaklah lengkap. Karena penari kopra ini masih jarang, maka kamipun kesulitan untuk mendapatkan informasi secara lengkap mengenai tarian ini.




5.  Seni Peran (Teater)

Bagi Bitung teater adalah komunitas yang terorganisasi yang manajemennya terjaga secara ajeg (sustainable).  Anak-anak remaja dikota Bitung merupakan remaja yang aktif.  Mereka memiliki agenda bagi diri sendiri dalam membangun komitmen dalam hidupnya. Dan itu mereka lakukan melalui komunitas teater. Hal ini juga tidak terlepas dari kerja Leonardo Axel Galatang yang merupakan presiden teater kota Bitung, sanggar Tangkasi. Teater adalah istilah lain dari drama atau seni peran tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah (kalau ada), penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmat dari public atau audience. Hal ini juga menjadi kesenian yang harus dikembangkan dan dilestarikan. Khususnya dikota Bitung, komunitas teater memiliki banyak peminat dari kalangan remaja. Bukan hanya sekedar menyukai, tetapi mereka juga mendalami dan mempelajari dengan baik akan kesenian ini.  Dan di kota Bitung, teater adalah seni yang sangat dikenal dan juga dekat dengan masyarakat. Karena komunitas ini sudah dibuat dan mulai diajarkan disekolah-sekolah mulai dari SMP sampe SMA. Setiap tahunnya akan ada perlombaan teater antar sekolah. Disinilah kita bisa menyaksikan bagaimana seni peran  itu.


Sanggar teater kota Bitung bernama Sanggar Tangkasi. Pemimpin atau Presiden dari sanggar ini adalah Leonardo Axel Galatang. Sebelum kota Bitung lahir, Axel sudah lebih awal menyiapkan pembangunan kebudayaannya melalui teater dan berbagai infrastruktur kreatif lain, seperti: program pramuka, kegiatan siswa/mahasiswa teladan, Putra-Putri Bitung, serta berbagai aktivitas kreatif sekolahan lain yang bermuara pada pembinaan dan lomba-lombaan kesastraan dan kesenian lain. Sudah begitu banyak pula prestasi yang dia bawa bagi kota Bitung. Salah satunya melalui sanggar teater ini. Untuk kategori perlombaan remaja (tingkat Sekolah Lanjutan Menengah dan Atas) tahunan saja, Bitung sudah menyelenggarakannya dua belas kali. Berarti sudah berusia dua belas tahun! Itu di luar pementasan yang dikreasi oleh komunitas. Hal ini menunjukan bahwa kesenian yang ada dikota Bitung khususnya dalam bidang ini masih terus berkembang dan dilestarikan. Tidak heran kalau sanggar Tangkasi bisa mengikuti event atau perlombaan dimana-mana bahkan sampai ke tingkat nasional dan membawa nama Kota Bitung serta Sulawesi Utara.


6. Bangunan Alang Toraja
Seperti yang kita tahu, kesenian itu bukan saja tarian dan nyanyian daerah. Tapi bangunan adat dan khas dari suatu daerah juga merupakan karya seni. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat kota Bitung dan juga para pendatang adalah Alang Toraja. Penduduk Sulawesi Selatan yang bermukim di Bitung dapat menghasilkan sebuah karya arsitektur seni bangunan yang menyerupai rumah beratapkan perahu ini terpajang di pusat Kota Bitung di bilangan Jalan Sagrat Mutiara, Kecamatan Matuari. Lokasinya yang berada dipinggiran jalan raya dapat mudahnya mata memandang karya suku Toraja tersebut. Meski bukan asli buah karya seni Minahasa, bangunan Alang tersebut masih memberikan magnet bagi orang yang berlalu-lalang. Bangunan Alang di lokasi itu berjumlah dua bangunan. Satu sama lain berdiri kanan dan kiri mengarah ke bumi bagian utara, sebagaimana kepercayaan yang mengakar oleh suku Toraja. Penduduk suku Toraja yang bermukim di kota Bitung kadang datang untuk melakukan pertemuan di aula yang tersedia disamping Alang Toraja tersebut, jelas Jumarni si penjaga bangunan Alang ini.

Semisal jelas Yakobus Pongsibidang, Ketua Kerukunan Suku Toraja Bitung menuturkan, Alang itu bagi suku Toraja berfungsi menaruh hasil panen padi agar tetap bersih dan aman dari gangguan hewan pemakan padi. "Ukurannya besar dan tinggi dijamin aman," katanya. Selain itu, jelas Yakobus, Alang itu adalah simbol rumah keluarga, penentu status dalam keluarga, semakin banyak memiliki Alang di kediamannya berarti keluarga tersebut merupakan golongan kalangan berada. "Logikanya punya banyak Alang berarti punya banyak simpanan padi di rumahnya," tuturnya. Mungkin sebagian ada yang bertanya, kenapa bentuk atap Alang yang menjadi tempat lumbung padi dari kejauhan berbentuk menyerupai perahu. Bukan tanpa alasan, suku Toraja memiliki maksud membentuk hal itu, karena sebagai penjelas bahwa dahulu kala nenek moyangnya yang berasal dari wilayah utara mengenakan perahu. Maka sekarang pun, bangunan Alang dimana pun berada harus menghadap wilayah Utara. Bila tidak dilakukan, maka telah bertentangan dengan pakem suku Toraja, menyimpang dan bukan lagi asli peradaban Toraja. "Alang di Bitung tetap kami buat ke arah Utara," katanya. Biasanya di tanah aslinya Toraja Sulawesi Selatan, bangunan Alang itu mengapit di kanan dan kiri rumah hunian suku Toraja yang bernama Tongkonan. Kedua-duanya baik itu Alang maupun Tongkonan wajib menghadap ke arah utara. Atas dasar itu, suku perkumpulan Toraja akan membangun rumah Tongkonan yang sekarang berada di Bitung Jalan Sagrat. "Rencana kami akan bangun di tahun 2012. Sekarang inikan baru Alang saja yang ada," ungkap pria berkumis tipis ini.

    Tentunya bangunan yang akan berdiri di atas lahan seluas 2070 meter tersebut akan menjadi pusat pelestarian kebudayaan di Bitung dan satu-satunya di Sulut. Sebab, ungkap Jacobus, berdasar data tahun 2011 ini jumlah suku Toraja di Sulut ada 15 ribu orang sedangkan yang di Bitung mencapai 1200 jiwa. "Diharapkan jadi simbol persatuan masyarakat secara keseluruhan," tegasnya.



7. Karya Seni Rupa (Patung / Bangunan) yang ada di kota Bitung
    Selain semua kesenian yang sudah dijelaskan diatas, di kota Bitung juga terdapat beberapa patung atau bangunan yang merupakan karya seni rupa. Walaupun sejarah pembuatan dan pembangunan dari masing-masing karya masih belum jelas, namun inilah nama-nama dari karya tersebut:

1. Replika Menara Eiffel

   Merupakan replika dari Menara Eiffel yang ada di Kota 
Paris – Prancis. Sebutan lain dari menara ini adalah Menara BRI, sebuah Bank (BRI) terletak dipersimpangan di sebelah Selatan Menara. Disebut juga sebagai Menara Kota Bitung, tulisan BITUNG berada tepat di persimpangan sebelah Selatan, di depan Bank BRI.

Didirikan sejak akhir Tahun 1980-an berdasarkan ide dari salah seorang Walikota Bitung yang dimasa mudanya sempat mengenyam pendidikan di Paris - Prancis, menara dengan ketinggian kurang lebih 30 meter ini berdiri kokoh di tengah kota Bitung tepatnya di Jalan Sam Ratulangi – Bitung. 
Di ujung menara dipasang jangkar kapal yang menggambarkan Bitung sebagai Kota Pelabuhan dan Kota Bahari.



2. Patung Ikan


Mengingat bahwa Bitung terkenal sebagai kota “Cakalang”, maka pemerintah kota Bitung pun mulai membangun Patung Ikan yang merupakan simbol bahwa Bitung adalah kota Pelabuhan dan Perikanan.


3. Monumen Jr. D. P. Risal



Sebagai bentuk toleransi dan ke- bersamaan antara pemerintah Indonesia dan Philipina menyusul dicetuskannya Sister City antara Kota Bitung dan Davao Philipina pada tahun 1993, yang ditandai dengan didirikannya monument Joza Rizal di Kota Bitung, dan monument Sam Ratulangi di Davao Philipina.






4. Patung Dotu/Opo Xaverius Dotulong

 



5. Tugu KB Mandiri

 



6. Menara Jam



    Itulah bangunan atau patung yang merupakan karya seni rupa atau seni bangunan yang juga merupakan bagian dari sejarah.

Nah, itulah kesenian-kesenian yang ada di kota Bitung. Apakah anda warga kota Bitung? Setelah membaca ulasan ini, apakah anda mendapat pengetahuan yang baru tentang kesenian yang ada didaerahmu? Saya berharap demikian. Semoga artikel ini bisa membantu membangkitkan kesadaran kita untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan melestarikan kesenian daerah. 


2 comments:

  1. Thanks cindy sangat membantu hehe Gbu

    ReplyDelete
  2. Terima kasih Cindy, bermanfaat sebagai sumber riset saya...

    ReplyDelete